Minggu, 25 September 2011

karya tulisku

Oleh: Anita Dwi Intan Sari                                                
                                        CALISTA ,I LOVE YOU
“Mas suka sama saya suka apanya sih?”tanya Calista saat kami berdua bermalam mingguan.”Suka sama rambut saya?”lanjutnya.
       “Bukan!”jawabku.
      “Sukasama mata saya?”
      “Nggak  juga!”
      “Suka sama senyum saya?”
      “Bukan itu!”
      “Apa dong Mas?” Ngomong!
Saya nggak suka sama orang berbelit-belit!”
     “Aku nggak bisa! Kamu tahu,untuk bilang itu aja aku mesti pake surat. Itu pun diberani-beraniin!”
     “Nggak Cuma …?”
     “Cuma apa? Ngomong dong Mas!”
     “Kukira kamu tahu,Cuma pura-puranggak tahu aja.”
     “Nggak gitu Mas, Mas  perlu ngomong biar jelas!”
     “Dulu kamu bilang nggak ada bedanya dijawab iya atau tidak. Kenapa sekarang kamu menuntut kejelasan?’
    “Sejak kapan sih Mas suka sama saya?” dia mengalihkan pembicaraan.
   “Sejak OSPEK. Cuma waktu itu liar!”
    “Liar?” Dia mengulang kata terakhir dengan senyum.
    “Trus?”
    “Sukanya nempel sana nempel sini sama cowok!”
      “Makanya aku takut.”
     “Trus?”
     “Tapi setelah aku tahu kamu baik, makanya ya itu!”
     “Trus?”
    “Ya itu!”
    “Kenapa Mas takut?karena saya liar?”
    “Iya dulu!”
    “Trus setelah Mas tahu siapa saya,kenapa masih nggak berani?”
    “Aku minder! Aku nngak berani ngmong langsung sama kamu!”
    “Karena saya liar?”
    “Ya nggak gitu!”
    “Trus apa?”
    “Yaaah,simpulkan saja sendiri!”
    “Nggak bisa gitu,Mas! Barukali ini saya nemuin orang kayak Mas.Udah tahu ditolak masih ngotot! Malah ngedeketin lagi!”
   “Yaaah,kalo kamu memang nggak suka,sikapi aja!”
   “Saya ngak mau nyakitin perasaan orang! Saya mau orang itu sendiri yang sadar.”
  “Kayaknya kamu ngadepin orang yang rada bandel!”
  “Nggak juga. Tergantung dia aja mau sadar atau nngak!”
Aku tahu,aku bukan tipe cowok idamannya.Entah apa seleranya. Apa strawberry,apa rasa mints,atau malah jeruk nipis! Yang  jelas aku menyukainya. Aku tahu dia suadh punya cowok. Orang Jakart,namanya Reno(bukan nama sebenarnya). Naksirnya mulai kelas 1 SMA,tapi baru bilang cintanya pas Calista lulus. Itu pun pake surat. Sama nggak beraninya kayak aku. Tapi salahkah bila aku mencintainya? (salah!)
   Kukira nggak juga. Toh nanti keputusan akhir ada ditangan Calista. Dan apapun jawabannya nanti, itu adalah resiko! Hanya aku berharap,kalo memang dia tidak menerimaku,lebih baik nggak usah dijawab sama sekali. Karena dengan begitu,tiap hari aku akan selalu punya harapan. Karena dengan begitu,aku juga punya gairah. Biarlah aku hidup hanya dengan harapan itu.
    Andaipun dia menjawab juga, nggak masalah. Itu harus kuhadapi dengan kesadaran yang tinggi. Bahwa kepututsannya adalah suratan takdirku. Cuma sayang,perasaan terlanjur sayangku tidak dia manfaatkan. Ah, tidak! Akunggak boleh pesimis. Aku harus terus berusaha dan berdo’a. Semoga dia mau menerimaku.
    Tapi kadang,aku teringat,bagaimana dia menolakku.
    “….kalo Mas mempermasalahkan jarak (si Reno dengan dia,Jakarta-Semarang)berarti Mas tipe cowok yang nggak setia.
    (Ya Allah)
    ….”berarti Mas baik sama saya selama ini ada pamrihnya?”
    (Ya Allah)
    “….berarti Mas nggak menghargai keputusan saya!”
    “(Sadis banget)
    Entah kenapa penolakan itu tidakmembuatku kapok. Aku malah tambah menyayanginya. Meski kadang aku diperlakukan kasar dan nggak direken sama sekali. Teman-teman aja menilai dia jahat kok! Aku dimintanya untuk menjauhinya, tapi aku tidak bisa. (Ah,masak?)
    *
    Suatu malam, saat aku mau pulang dari rumahnya,aku pamit.
    “Aku pulang ya?”
    “Terserah, mau nginep disini juga boleh,ada dua kamar kok yang kosong!” (WC tau!)
    Ada lagi,suatu malam kulihat dia lagi genjrengan pake gitar di teras depan rumahnya. Aku menemaninya. Saat kutanya, “Kamu nggak belajar?”
    “Terserah saya,mau belajar,mau tidur,toh bukan Mas yang bayarin!”
    Kalo sudah bilang gitu, aku mau ngomong apa? Tersinggung sih iya,tapi rasa sayangku lebih besar dari rasa tersinggungku yang sekecil atom itu. (Ah,gombal!) lagian nggak tiap hari dia gitu. Kadang-kadang aja, kalo resepnya habis,baru dia gitu. (Emang Calista pasien RSJ? Gilakamu!)
    Buktinya dia sering makan bareng berasamaku. Bahkan mau mengguiku. Saat lagi sumpek juga, dia ambil gitar menyanyikan beberapalagu untukku.
    Atau memintakuuntuk menemaninya main keyboard. Tapi entahlah, aku belum yakin itu tulus untukku. Paling-paling jugabasa-basi.  Tapi aku takkan mundur. Apapun yang dia lakukan padaku,sepanjang nggak keterlaluan, aku akan terima, karena aku sangat menyayanginya.
    Aku merasa nggak bisa mengungkapkan perasaanku langsung didepan hidungnya. Makanya aku lebih sering mengiriminya puisi.
    Puisi yang pertamaku berjudul CALISTA 1. Isinya begini:
    Apakah setiap putih akan dijawab dengan hitam.
    Apakah setiap biru akan dijawab dengan abu-abu. Apakah setiap kuning akan sijawab  dengan putih.
    Apakah setiap merah akan dijawab dengan hijau.
    Aku tidak memilih  warna,tapi warna itu yang mengerdip dalam hati.
    Aku tidak memilih putih,tapi putih itu yang nengisi hati.
    Aku  tidak memilih kuning, tapi kuning itu yang mengerling dalam hati.
    Aku tak kuasa memillih warna seperti halnya aku tak kuasa menolak warna yang hadir.
    Andai warna yang kuharap mungkur,adalah tanda kekuasaanMu.
    “Mas aku nggak ngerti!” tanya Calista manja.
    Itu saat akubelum menyatakan perasaanku. Makanya kujawab pertanyaanya bahwa apakah mencintai seseorang, selalu dijawab dengan penolakan? Perasaan cinta dan sayang itu tidak kubuat-buat. Perasaan itu hadir dengan sendirinya,tapi  kenapa sering ditolak? Biru menandakan kedalaman rasa,tapi dinetralkan dengan abu-abu. Kuning lambang harapan,tapi kenapa dicuekin? Merah melambangkan semangat hidup,tapi kenapa aku dianggap anak-anak? (Masih hijua?)Andai perasaanku ditolak,itu sudah resiko. TakdirNya.
    Andai kautahu,kian hari kian bertambah saja rasa cintaku padamu,maunya aku bertemu dengan mu setiap detik,tapi itu tak mungkin.
    Kita tak terpisahkan oleh waktu. Waktu untuk tidur,waktu untuk kuliah,dan waktu-waktu yang alin yang tak mungkin aku dan kamu bersama
    Andai kutahu, bahwa setiap rasa yang mengaliri darah akan selalu bertambah,dan kian dalam saja,tentu kau takkan tega meninggalkanku.
    Andai  kutega juga  mungkin kau memang  tak punya perasaan.
    Puisi ini gamblang. Bisa langsung ditelan. Buktinya setelah dia membacanya,lebih-lebih kalimat terakhir,dia langsung mencubitku. Dan puisi yang ku kirim setelah dia menolakku,berjudul CALISTA V berisi:
    Aku tidak mempercayai sesuatu. Sesuatu yang kuhargai,yang kujunjung tinggi-tinggi.
    Ku perjuangkan untuk membelanya, ku sabari menjaga kesuciannya,ternyata tidak berharga apa-apa. Semua jadi OMONG KOSONG. Lebih baik menghargai raja, biar dapat kedudukan. Lebih baik menjunjung piala,biar dapat tepuk tangan. Lebih baik menjaga dagangan,biar dapat uang,tapi apalah arti semua itu. Aku sudah tidak mempercayai sesuatu.
    Karena aku bilang semua hanya omong kosong,aku dicuekinya selama tiga hari. Dan pada tiga hari,dia mendampratku.
    “…berarti Mas baik samasaya ada pamrihnya? Saya bisa ngomong lebih kasar dari apa yang Mas bilang,tapi nggak!”
    Aku hanya diam.
    “…berarti Mas tipe cowok yang nggak setia! Asa deket,diembat aja!”
    Aku benar-benar mati kutu saat itu. Kuakui,aku yang salah. Aku salah menyimpulkan kata-kata dan sikapnya yang menurut pengertianku itu merupakan lampu hijau buatku. Tapi ternyata…” Sehingga aku menganggapsemua kekeliruanku dan semua perasaanku dan semua perasaanku padanya hanya sebatas omong kosong,seharga ludah.
    Dia tersinggung. Aku mencoba minta maaf.
    “Minta maaf itu gampang, Mas! Mas mau minta berapa maaf? Saya kasih!”
    Aku masih diam. Aku menunduk. Aku tak berani memandangnya. Entah seseram apa wajahnya waktu itu. Tapi biarlah aku diabisin sekalian. Aku menang bersalah. Memang pantas dicaci semacam itu. Salutnya,dia tak ngabisin aku di depan teman-temanku.
    Tapi saat ini, kami kembali baikan. Malah lebih akrab lagi. Bahkan kalau aku nggak selera makan, dia menawarkan diri menemaniku makan biar aku mau makan. Walau kadang penyakitnya sering kumat. Kalo sudah gitu, aku hanya bisa bersabar. Dan puisi terakhir yang kuberi judul CALISTA VI,bersamaandengan selesainya cerita ini ditulis. Isinya begini:
    Angggrek biru tumbuh subur dihati.
    Mentarinya adalah sinar kecintaan dan kasih sayang.
    Nafasnya adalah angin keikhlasan.
    Makanan dan minumannya adalah ketulusan da n kesabaran.
    Pagarnya adalah rusuk-rusuk kesetiaan. Kurawat dan kujaga,jangan sampai layu. Janga sampai lumat,apalagi sampai mati.
    Andai suatu hari ada pangeran hendak menyuntingnya, kan kucabut dari pot hatiku dan kuserahkan dengan senyum yang termanis.
    Aku cukup bangga hanya dengan merawatnya walaupun setelah kucabut dari pot hatiku, aku MATI.
    Setelah dia membacanya, aku dihadiahi senyumnya yang kurindu. Dan terlihat gigi seri atasnya yangberbaris rapi itu meng-gula-i senyumnya. Entah apa artinya,yang jelas, selama dia masihbelum menjawab perasaanku,tiap hari aku akan punya harapan.  Karena aku tahu apa jawabannya.